Minggu, 01 Mei 2011

Membongkar Ilmu Pendidikan Islam

Mukoddimah
Sebelum mengekplorasi lebih jauh tentang hakikat pendidikan islam alangkah bijaknya kita mengamati para komentator / para ahli dalam bidang tersebut, diantaranya yaitu Ahmad D. Marimba, misalnya mengatakan bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si – terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Berdasarkan rumusannya ini, Marimba menyebutkan ada lima unsur utama dalam pendidikan, yaitu: (1) Usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan, pimpinan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar; (2) Ada pendidik, pembimbing atau penolong; (3) Ada yang di didik atau si terdidik; dan (4) Adanya dasar dan tujuan dalam bimbingan tersebut, dan. 5) Dalam usaha tentu ada alat-alat yang dipergunakan.
Sebagai suatu agama, Islam memiliki ajaran yang diakui lebih sempurna (the perfect religion) dan kompherhensif dibandingkan dengan agama-agama lainnya yang pernah diturunkan Tuhan sebelumnya. Sebagai agama yang paling sempurna ia dipersiapkan untuk menjadi pedoman hidup sepanjang zaman (religie pererenis)atau hingga hari akhir. Islam tidak hanya mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di akhirat, ibadah dan penyerahan diri kepada Allah saja, melainkan juga mengatur cara mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia termasuk di dalamnya mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur masalah pendidikan. Sumber untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat tersebut adalah al Qur’an dan al Sunnah.ada perkataan yang dinukil pak natsir dalam bukunya capita selecta “islam is indeed much more than a system teologi, it is a complete cicilizatian”. Maka disini jelas bahwa perkembangan dunia harus di relevansikan dengan islam, jangan islam di relevansikan dengan jaman.
Sebagai sumber ajaran al Qur’an sebagaimana telah dibuktikan oleh para peneliti ternyata menaruh perhatian yang besar terhadap masalah pendidikan dan pengajaran. Demikian pula dengan al Hadist, sebagai sumber ajaran Islam, di akui memberikan perhatian yang amat besar terhadap masalah pendidikan. Nabi Muhammad SAW, telah mencanangkan program pendidikan seumur hidup (long life education ). Dan wahyu pertama yang diturunkan merupakan bukti yang mendasar bahwa pendidikan adalah hal yang sangat urgen dalam beragama maupun dalam keduniawian.
Dari uraian diatas, terlihat bahwa Islam sebagai agama yang ajaran-ajarannya bersumber pada al- Qur’an dan al Hadist sejak awal telah menancapkan revolusi di bidang pendidikan dan pengajaran (education revolution). Langkah yang ditempuh al Qur’an ini ternyata amat strategis dalam upaya mengangkat martabat kehidupan manusia. Kini diakui dengan jelas bahwa pendidikan merupakan jembatan yang menyeberangkan orang dari keterbelakangan menuju kemajuan, dan dari kehinaan menuju kemuliaan, serta dari ketertindasan menjadi merdeka, dan seterusnya.
Dasar pelaksanaan Pendidikan Islam terutama adalah al Qur’an dan al Hadist Firman Allah : “ Dan demikian kami wahyukan kepadamu wahyu (al Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al Qur’an itu cahaya yang kami kehendaki diantara hamba-hamba kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benarbenar memberi petunjuk kepada jalan yang benar ( QS. Asy-Syura : 52 )” Dan Hadis dari Nabi SAW : “ Sesungguhnya orang mu’min yang paling dicintai oleh Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal pikirannya, serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia” (al Ghazali, Ihya Ulumuddin hal. 90)”
Pendidikan dalam arti umum mencakup segala usaha dan perbuatan dari generasi tua untuk mengalihkan pengalamannya, pengetahuannya, kecakapannya, serta keterampilannya kepada generasi muda untuk memungkinkannya melakukan fungsi hidupnya dalam pergaulan bersama, dengan sebaik-baiknya. Corak pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap untuk memasuki lapangan penghidupan itu. Pendidikan itu memang suatu usaha yang sangat sulit dan rumit, dan memakan waktu yang cukup banyak dan lama, terutama sekali dimasa modern dewasa ini. Pendidikan menghendaki berbagai macam teori dan pemikiran dari para ahli pendidik dan juga ahli dari filsafat, guna melancarkan jalan dan memudahkan cara-cara bagi para guru dan pendidik dalam menyampaikan ilmu pengetahuan dan pengajaran kepada para peserta didik. Kalau teori pendidikan hanyalah semata-mata teknologi, dia harus meneliti asumsi-asumsi utama tentang sifat manusia dan masyarakat yang menjadi landasan praktek pendidikan yang melaksanakan studi seperti itu sampai batas tersebut bersifat dan mengandung unsur filsafat. Memang ada resiko yang mungkin timbul dari setiap dua tendensi itu, teknologi mungkin terjerumus, tanpa dipikirkan buat memperoleh beberapa hasil konkrit yang telah dipertimbangkan sebelumnya didalam sistem pendidikan, hanya untuk membuktikan bahwa mereka dapat menyempurnakan suatu hasil dengan sukses, yang ada pada hakikatnya belum dipertimbangkan dengan hati-hati sebelumnya.
Sebagai ajaran (doktrin) Islam mengandung sistem nilai diatas mana proses pendidikan Islam berlangsung dan dikembangkan secara konsisten menuju tujuannya. Sejalan dengan pemikiran ilmiah dan filosofis dari pemikir-pemikir sesepuh muslim, maka sistem nilai-nilai itu kemudian dijadikan dasar bangunan (struktur) pendidikan islam yang memiliki daya lentur normatif menurut kebutuhan dan kemajuan.
A. Pengertian ilmu Pendidikan Islam
Untuk memberikan pengertian tentang pendidikan Islam, maka perlu diketahui dari mana asal kata tersebut. Kata “pendidikan” adalah terjemahan dari bahasa Arab, yakni Rabba-Yurabbi-Tarbiyyatan. Kata tersebut bermakna : Pendidikan, pengasuhan dan pemeliharaan (A.W. Munawwir, 1997 : 470).
Dalam Alquran banyak dijumpai ayat yang mempunyai arti yang sama dengan pengertian di atas. Ayat-ayat tersebut dapat dilihat pada:
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَـانِى صَغِيْرًا
Artinya :Ya, Allah kasihanilah mereka berdua sebagaimana mereka telah membimbing aku waktu kecil (Q.S. 17 : 24).
Selanjutnya dapat pula dilihat pada ayat berikut:
قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِيْنَا وَلِيْدًا وَلَبِثْتَ فِيْـنَا مِنْ عُمْرِكَ سِنِيْنَ
Artinya :
Fir’aun menjawab: Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu (Q.S. 26 : 18).
إِنَّـهُ رَبِِّي أَحْسَنَ مَثْوَايَ
Artinya :
Sungguh Tuhanku telah memperlakukan aku dengan baik (Q.S.12: 23).
Pengertian pendidikan yang kita pahami sekarang belum terdapat pada zaman Rasulullah saw. Namun usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan usaha dakwahnya memberi contoh dan melatih keterampilan berbuat kebajikan, memberi motivasi dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu telah mencakup arti pendidikan dalam pengertian sekarang. Hal ini seiring dengan apa yang dikatakan oleh Zakiah Daradjat dalam bukunya “Ilmu Pendidikan Islam”. Apa yang beliau lakukan dalam mendidik manusia kita rumuskan sekarang dengan pendidikan Islam. Cirinya ialah perubahan tingkah laku sesuai dengan ajaran Islam. Adapun pendidikan dalam pemahaman Islam ialah pertumbuhan yang seimbang antara pertumbuhan jasad, akal, dan ruh (Muhammad Imarah, 1992 : 63).
Selain pengertian di atas juga terdapat definisi pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ahmad Tafsir bahwa: Pendidikan Islam bagi saya ialah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Bila disingkat pendidikan Islam ialah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin (Ahmad Tafsir, 1992 : 32).
Di samping pengertian-pengertian di atas, masih banyak lagi pengertian yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan. Namun cukup dimengerti bahwa dari pengertian yang mereka kemukakan dapat dipahami bahwa pendidikan merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh seorang pendidik terhadap anak didiknya dengan tujuan membimbing ke arah yang lebih sempurna yakni dengan menggunakan sarana atau alat belajar dan berlangsung pada suatu tempat tertentu.
B. Ruang Lingkup Pendidikan Islam

Pendidikan sebagai ilmu yang mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Karena didalamnya banyak segi-segi atau pihak-pihak yang ikut terlibat baik itu secara langsung maupun tidak langsung.
Adapun segi-segi atau pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan Islam sekaligus menjadi ruang lingkup pendidikan islam adalah sebagai berikut :

1) Perbuatan mendidik itu sendiriMaksudnya adalah seluruh kegiatan, tindakan atau perbuatan dan sikap yang dilakukan oleh pendidikan sewaktu menghadapi / mengasuh anak didik.
2) Anak didik (murid); yaitu merupakan obyek terpenting dalam pendidikan Islam
3) Dasar dan tujuan pendidikan Islam; yaitu landasan yang menjadikan fundamen dan sumber dari segala kegiatan pendidikan Islam yang dilakukan.
4) Pendidik : Pendidik yaitu sebagai subjek yang melaksanakan pendidikan Islam. Ini memiliki peranan yang sangat penting, berhasil atau tidaknya proses pendidikan banyak ditentukan oleh mereka.
5) Materi pendidikan Islam; yaitu bahan, atau pengalaman-pengalaman belajar ilmu agama
6) Metode pendidikan Islam; yaitu cara yang paling tepat dilakukan oleh pendidikan untuk menyampaikan bahan atau materi pendidikan islam kepada anak didik
7) Evaluasi pendidikan; yaitu menurut cara bagaimana mengadakan evaluasi atau penilaian terhadap hasil belajar anak didik.
8) Alat-alat pendidikan Islam; yaitu alat-alat yang dapat digunakan selama melaksanakan pendidikan Islam agar tujuan pendidikan Islam tersebut lebih berhasil.
9) Lingkungan sekitar atau milieu pendidikan Islam; yaitu keadaan-keadaan yang ikut berpengaruh dalam pelaksanaan serta hasil pendidikan Islam.

C. Tujuan Pendidikan Islam
Pada hakikatnya, pendidikan adalah proses yang berlangsung secara kontiniu dan berkesinambuangan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang perlu di emban oleh Pendidikan Islam, adalah membentuk manusia seutuhnya (perfect human/insan kamil) yang berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis mulai dari kandungan hingga akhir hayat.
Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap kehidupannya sampai mencapai titik kemampuan optimal. Secara structural, pendidikan Islam menuntut adanya struktur organisasi yang mengatur jalannya proses pendidikan, baik dalam dimensi vertical maupun horizontal. Sementara secara institusional, ia mengandung implikasi bahwa proses pendidikan yang berjalan.

Menurut Abdul Fatah Jalal, tujuan umum pendidikan Islam ialah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Jadi menurut Islam, pendidikan haruslah menjadikan seluruh manusia yang menghambakan kepada Allah, yang dimaksudkan menghambakan diri ialah beribadah kepada Allah.
”Islam menghendaki agar manusia dididik supaya ia mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan oleh Allah. Tujuan hidup manusia itu menurut Allah ialah beribadah kepadfa Allah. Seperti dalam surat Ad Dzariyat ayat 56 :Artinya :”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.

Menurut al-Attas (1979: 1) menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah manusia yang baik. Ini terlalu umum, Marimba (1964 : 39) berpendapat bahwa tujuan pendidikan islam ialah berbentuk orang yang berkepribadian muslim. Ini pun terlalu umum Al Abrasyi (1974 : 15) menghendaki tujuan akhir pendidikan islam ialah manusia yang berakhlak mulia. Ini juga amat umum, menurut Mursy (1977 : 18) menyatakan bahwa tujuan akhir pendidikan menurut Islam ialah manusia sempurna ini pun terlalu umum, sulit dioperasikan, maksudnya. Sulit dioperasikan dalam tindakan perencanaan dan pelaksanaan pendidikan secara nyata.
Ada rumusan baru tentang tujuan dari pendidikan islam yang penulis dapatkan dari pengajian ustadz Teten Romly Qomarudin di tambah pemdalam penulis tentang pembahasan tersebut maka lahirlah sebuah kesimpulan inti (the ultimate conclution) bahwa tujuan dari pendidikan islam adalah untuk membentuk manusia hidup seimbang (tawajun) dalam menumbuh kembangkan tiga aspek yang akan selalu mengiri hidup dan kehidupan manusia itu sendiri yaitu akal (mind),jasad dan hati (intellect) menjadikan satu kesatuan yang berkembang menuju pengabdian terhadap yang menciptakanya, dengan cara menjiwai kepribadian nabi muhammad dan para sahabat rasul. Ini merupakan sebuah analisa saja yang setiap para pemikir (the free thingker) bisa mengejawantahkan hasil dari renugannya tentang sebuah problematika. Yang pada intinya bahwa tujuan pendidikan islam adalah sama dengan tujuan manusia itu untuk apa diciptakan, demikian paparan dari muhamamad natsir di bukunya yang monumental selecta capita.
Wallahu a’lam bishowwab.




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, M.A., Pengantar Filsafat Islam, Cet. IV, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.
Prasetya, Drs., Filsafat Pendidikan, Cet. II, Pustaka Setia, Bandung, 2000.
Abuddin Nata, M.A., Filsafat Pendidikan Islam, Cet. I, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.
Natsir,M.,Capita Selecta, Percetakan Abadi,Jakarta, 2008.
Azra, Azyumardi., MA. Pendidikan Islam, Logos Wacana Ilmu, Jakarta,2003.
Munzier,Drs.MA, Watak Pendidikan Islam, Friska Agung Insani, Jakarta, 2000.

ULAMA DAN ILMUAN

Mukodimmah

Ulama yang merupakan bentuk jama’ dari kata alim merupakan orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum Allah (ahkam Allah). Hukum Allah tidak terbatas pada hukum-hukum agama, tetapi mencakup hukum-hukum alam atau yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan sunnatullah. Nabi Saw mendapat pengetahuan ilahi yang mencakup seluruh aspek kehidupan, dan tidak terbatas pada pengetahuan hukum agama. Kenabian baginda Muhammad Saw menjadi logos ketuhanan yang menyinari seluruh jagat raya dan isinya. Logos ketuhanan itu bersifat menyeluruh bagi semua kehidupan. Oleh karena itu, tidak tepat jika pengertian ulama hanya dikhususkan untuk pengetahuan agama, semantara pemilik pengetahuan non agama tidak disebut dengan ulama.

Generasi awal Islam tidak mengenal pembedaan antara pemilik pengetahuan agama dan pemlik pengetahuan non agama. Pengertian ulama mengacu pada mereka yang memiliki pengetahuan, apapun bidang dan jenis pengetahuan yang dimiliki. Kenyataan yang dapat ditemukan dalam literatur-literatur Islam klasik adalah orang yang ahli filsafat disebut dengan al-failasuf, orang yang pintar dalam bidang logika disebut dengan ahl al-manthiq, orang yang ahli mengobati disebut dengan al-thabib, orang yang menonjol di bidang agama disebut dengan rijal al-din dan seterusnya. Semuanya masuk dalam kategori ulama. Mereka disebut ulama karena dipercaya menguasai dan memiliki pengetahuan, dan dengan pengetahuannya mereka mengajarkan dan membimbing umat manusia ke jalan yang benar. Mereka inilah pewaris para nabi dalam mentransmisikan pengetahuan kepada umat manusia.

Kenyataan yang terjadi di tengah kehidupan kita adalah justru ulama mendapat pengertian sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama atau hukum agama. Orang yang memiliki pengetahuan di luar bidang agama disebut dengan ilmuwan. Munculnya dikotomi antara ulama dan ilmuwan seperti yang sedang terjadi merupakan representasi nyata dari perseteruhan antara agama dan filsafat yang sudah berlangsung sejak lama dalam sejarah pengetahuan Islam. Maka tidak heran, pengertian ulama mengalami penyempitan, hanya terkait dengan mereka yang mempunyai pengetahuan agama atrau hukum agama. Sementara sebutan ilmuwan yang merupakan terjemahan serapan dari istilah ulama lebih diidentikkan dengan mereka yang mempunyai dan menguasai pengetahuan non agama.

Apabila ulama menjadi pewaris para nabi karena kepemilikan pengetahuannya, maka demikian juga para ilmuwan dapat menjadi pewaris para nabi. Seorang ulama dan ilmuwan sejati adalah mereka yang memiliki pengetahuan hukum Allah, yang dengan pengetahuannya ia harus menjadi panutan, kepercayaan dan pengganti (khalifah) para nabi atas umatnya. Seharusnya, mereka menjadi pewaris para nabi dalam hal kondisi (ahwal), perbuatan, perkataan dan pengetahuan. Oleh karena itu, derajat dan maqam mereka tinggi. Kemuliaan derajat mereka, dikiaskan oleh nabi Saw dengan sabdanya: “Keutamaan orang yang berilmu itu bagaikan bulan dan bintang.”

Untuk mencari kejelasannya diantara kedua term tersebut, penulis mencoba menyingkap “tabir misteri” tersebut, berikut ini saya mengulas permasalahannya. Mudah-mudahan dapat membantu kita menyibak makna yang sebenarnya dengan mengunakan pendekatan interdisipliner (melihat dari segala aspek). Kita mencoba dengan menggali akar katanya, lalu menelusuri darimana munculnya.
Definsi Ilmuwan

Definisi Ilmuwan ialah orang yang bekerja dan mendalami dengan tekun dan sungguh-sungguh dalam bidang ilmu pengetahuan. Para ilmuwan bisa bekerja dalam bidang ilmu pengetahuan yang berbeda. Di sini diberikan beberapa contoh: Mereka yang belajar fisika ialah fisikawan. Yang belajar kimia ialah kimiawan. Yang belajar biologi ialah biolog. (sumber: id.wiktionary.org).

Dari definsi di atas jelas bahwa arahnya hanya kepada para ahli ilmu alam (eksakta) yang merupakan ayat kauniyah Allah. Akar kata ilmuwan dari dua suku kata Ilmu (serapan dari bahasa Arab) yang sudah mengindonesia, lalu ditambah dengan akhiran –wan yang menunjukkan penegasan sifat awalannya. Sebagai contoh pembanding, yaitu kata dermawan yang artinya orang yang suka berderma, membantu dengan harta atau bersifat sosial. Lantas, siapakah yang mempopulerkannya dan kapan munculnya istilah ilmuwan, wallahu’alam- secara jelas belum kami temui penjelasannya. Namun yang jelas kosa kata ini sudah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.

Definisi Ulama

Secara bahasa, ulama berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang mengetahui - mufrad/singular) dan ulama (jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Quran dan hadis. Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah : انما يخشى الله من عباده العلماء (sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama- Qs.Fathir 28).

Nash yang jelas tentang lafadz al Ulama dalam al Quran di atas adalah berbentuk ism makrifat (khusus-dapat dikenali secara jelas) bukan berbentuk umum (ism nakirah), yaitu ulama. Artinya al Ulama adalah hamba Allah yang takut melanggar perintah Allah dan takut melalaikan perintahNya dikarenakan dengan ilmunya ia sangat mengenal keagungan Allah. Ia bertahuid (mengesakan) Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat. Mereka sangat berhati-hati dalam ucapan dan tindakan karena memiliki sifat wara, khowasy dan ’arif. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim bersumber dari Anas yang membayankan atau menjelaskan terhadap al Qur-an Surah Fathir ayat 28 di atas dinyatakan bahwa :
العلماء اُمناء الله على خلقهِ
("al ‘Ulama adalah pemegang amanah Allah atas makhluqnya”).

Jelas bahwa kata al Ulama bukan sekedar istilah dan kedudukan sosial buatan manusia. Bukan pula orang yang didudukan di lembaga bentukan pemerintahan sekular dengan subsidi dana. Namun kosa kata al Ulama berasal dari Kalamullah dan memiliki arti dan kedudukan sangat terhormat disisi Rabb. Hanya Allah yang mengetahui hakikat sebenarnya siapa dari hambaNya yang termasuk kategori al Ulama. Maka tidak berhak seseorang memproklamirkan dirinya sebagai al Ulama.

Secara tersirat kata rusul (ism nakirah) dapat berarti Rosulullah dan bisa pula al Ulama. Sedangkan arrusul (ism makrifat) artinya khusus ditujukan kepada Rosulullah. Berarti al Ulama memiliki tanggung jawab besar berupa amanah risalah yang telah dibawa para rasul untuk dijaga kemurniaannya, didakwahkan dan diamalkan.


Kemudian ada juga satu lagi hadits dari sumber Anas, riwayat Muslim yang menyatakan :
العلماءُ امناء الرّسل مالن يٌخلط السلطانَ ودخل الدنياَ اذا خلط السلطان ودخل الدنيا فقد خان الرسل فاهذروه
(Al ‘Ulama pemegang amanah para rosul, selama ia tidak menggauli penguasa / ambisi kekuasaan, dan tidak cinta berat terhadap dunia / materialis, jika ia menjilat penguasa / ambisi kekuasaan, dan cinta berat terhadap dunia / materialis maka sungguh ia telah menghianati para rosul, maka berhati-hatilah kepadanya”).

Hadits ini menjelaskan al Qur-an Surah Assyura ayat 13 :

شرع لكم من الدين ما وصى به نوحآ والذي اوحينا اِليك وما وصّينا به ابراهيم وموسى وعيسى انْ اقيموا الدّين ولا تتفرّقوا فيه كبر على المشركين ما تدعوهم اليهِ الله يجتبى اليه من يشاء ويهدى من ينيب ـ


“Disyariatkan atas kamu ad Din, (yaitu) apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Nuh, dan apa-apa yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa-apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Ibrahim dan Musa dan Isa, bahwa tegakkanlah ad Din dan janganlah berpecah-belah didalamnya. Berat rasanya bagi orang-orang musyrik seruan kamu atas mereka, Allah menetapkan dengan seruan itu siapa yang dikehendakiNya, dan menunjuki dengannya orang-orang yang kembali (bertaubat)”.

Sedangkan hadits yang berbunyi :
العلماءُ ورثُ الانبياءَ

(al 'ulama adalah pewaris para nabi).

Kedudukan matan atau isi hadits ini lemah (dhoif) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah, karena masalah kenabian tidaklah diwariskan. Menurut Rosulullah, ulama itu ada yang asshoghir dan akaabir. Tercermin dalam hadits beliau : “ma yadzalun nafsu bi khoiri ma ahadul ilma ‘inda akaabir (senantiasalah ummat ini dalam kebaikan sepajang mereka mengambil ilmu dari akaabir).

Untuk memahami makna Ulama akaabir dan ulama ashoqir dengan memahami suatu kaidah ushul. Sesuatu hal itu lebih dikenal jika diketahui lawannya. Contoh kita tidak tahu persis arti kata ‘adil jika tidak tahu arti dholim. Juga arti makruf dari lawannya munkar. Secara etimologis akaabir artinya orang besar (penggede) dan ashoqhir artinya (orang kecil). Namun secara ilmu tafsir bermakna lain. Diambil dari sebuah hadits, nabi SAW:

“Min assyirothi sa-ah ayyu tsamatsalil ilmu ‘inda asshoghir” (antara lain sebagai prolog /muqadimah datangnya hari qiyamat diambang pintu, yaitu orang mengambil ilmu dari ashoghir). Mufasir berpendapat ashoqir hum ahlul bid’ah (asshoqir adalah ahli bid’ah). Mereka ulama tapi bergelimang dengan bid’ah (mengada-ada dalam perkara Din).

Ciri lain seorang al ulama adalah memiliki kepekaan terhadap penderitaan ummat lalu mengupayakan jalan keluarnya (Qs.9:128). Ia umumnya dibangkitkan Allah di tengah-tengah qoum yang ummi (buta huruf, masyarakat biasa/kecil : Qs.62:2)

Froblem Solving Menuju Regenerasi Ulama Yang Ilmuan
Mencetak generasi ulama yang mempuni dalam keilmuan eksakta tidak semudah membalikan telapak kaki, membutuhkan waktu yang panjang dan sisitem pendidikan yang sisitematis (manhaj dirosiyyah) dalam sistem pendidikan, yang sekarang sudah nampak jelas adanya sebuah dikotomi ilmu yang membawa bibit sekulisasi dan liberalisasi , yang konsekuensi dari sisitem tersebut akan menghasilkan manusia-manusia yang akan semakin menjauh dari tuhannya, keilmuanya akan kering dari sebuah regiliusitas kehidupan,
Maka dibutuhkan sebuah islamisasi keilmuan (sains), untuk menciptakan generasi yang yang mempunyai keilmuan yang terbingkai dalam framework ketauhidan.
.Kata “ islamisai sains” sudah pernah nyaring menggema di indonesia pada era 1980-an, tapi redup sejalan dengan ketidak jelasan konsep dan pengembangannya,. Bahkan sering timbul kesalaha pahaman. Apa sebenarnya” islamisai sains” itu ?.
Secara umum ,ada lima arus utama wacana islamisai sains, pertama , islamiasasi sains dengan pendekatan instrumentalistik, yaitu pandangan yang menganggap ilmu atau sains hanya sebagai alat ( instrumen ), artinya, sains terutama teknologi sekedar alat untuk mencapai tujuan, tidak memperdulikan sipat dari sains tersebut selama ia bermampaat bagi pemiliknya.
Pendekatan ini muncul dengan asumsi bahwa barat maju dan dapat menguasi dan menghegemoni wilayah islam dengan kekutan sains dan teknologinya. Coz untuk mengimbangi barat, kaum muslim harus mengusai sains dan teknologi. So ... islamisasi disini bagaimana umat islam dapat mengusai kemajuan yang telah dikuasi barat.
Kedua, isalmisai dengan konsep justifikasi , artinya, penemuan ilmu modern, terutama di bibidang ilmu-ilmu alam diberikan justifikasi (pembenaran) melalui ayat al-qur’an dan al-hadist. Metodologinya adalah dengan cara mengukur kebenaran Al-Qur’an dengan fakta-fakta objektip dalam sains modern.Tokoh yang populer mengembangan metode ini adalah Maurice bucaille,Harun yahya, Zaghlul An-Najjar,Afjalur rahman dll.
Ketiga, islamisasi sains dengan pendekatan sakralisasi. Ide ini dikembangkan oleh seyyed hossein nasr. Baginya sains modern yang sekarang ini bersipat sekuler dan jauh dari nilai-nilai spritual sehingga perlu di lakukan sakralisasi. Tapi metode pendekatan (approach metode) nasr ini kalau di selidki lebih dalam maka kita akan melihat bahwa konsep ini (sakralisasi sains) dibangun atas dasar konsep semua agama sama pada level esoterisnya (batin), yang seharusnya islamisasi sains dibangun dan dikembangkan di atas kebenaran islam. Sains sakral menafikan keunikan islam karena menurutnya keunikan adalah milik semua agama, maka metode sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep islamisasi sains jika nilai dan unsur kesakralanya didasarkan pada nilai-nilai islam yang haq.

Keempat, islamisasi sains melalui proses integrasi, yaitu, mengintegrasikan sains barat dengan ilmu-ilmu islam. Ide ini dikemukakan oleh imail Al-faruqi.menurutnya, akar dari kemundururan umat islam dibebagai dimensi karena dualisme sistem pendidikan.disatu sisi, sistem pendidikan islammengalami penyempitan makna dalam berbagai dimensi, sedangkan disisi lain, pendidikan sekuler sangat mewarnai pemikiran kaum muslimin.
Al-faruqi menyimpulkan sistem pendidikan harus dibenahi dan dualisme pendidikan harus dihapuskan dan menyatukan nya dalam bingkai ketauhidan yang bersipat integral dari paradigmanya. Al-Faruqi menjelaskan pengertian islamisasi sains sebagai usaha yaitu, “memberikan definisi baru, mengatur data-data mengevaluasi data-data , memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sehingga disiplin-disiplin itu memperkaya shaqofah (wawasan ) islam, dad bermampaat bagi cita-cita islam”.
Kelima, konsep islamisasi sains yang paling mendasar dan menyentuh akar permasalahan sains adalah islamisasi yang berlandaskan paradigma islam. Ide ini pertama kali di sampaikan oleh syed muhammad naquib Al-attas. Menurutnya tangtangan terbesar yang dihadapi kaum muslimin adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral telah merasuk kedalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis yang berasal dari repleksi kesadaran dan pengalaman manusia barat. maka islamisasi sains harus dimulai dengan membongkar sumber kerusakan ilmu. Ilmu-ilmu modern harus diperiksa ulang dengan teliti.al-Attas mengartikan islamisasi sains sebagai “pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan islam) dan dari belenggu sekuler terhadap pemikiran dan bahasa,juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cendrung sekuler dan tidak adil tarhadaphaqiqat diri atau jiwannya............islamisasi adalah proses menuju bentuk asalnya ..” .
Kesimpulan

Al Ulama adalah kedudukan mulia dari Allah kepada hamba pilihan yang memahami ayat-ayat Allah berupa Ilmu kauniyah yang dibentangkan Allah di alam semesta dan Ilmu Syariah yang tertulis dalam kitabNya. Maka untuk mendapatkan definisi yang benar harus dikembalikan yang membuat istilah al Ulama (dalam hal ini Allah). Sedangkan Ilmuwan istilah yang muncul di masa mutaakhir, maka harus dikembalikan kepada pembuatnya (manusia). Dengan mencoba memahami sumber asal yang benar, insyaAllah akan menghasilkan keluaran yang benar pula.

Untuk lebih jelasnya coba perhatikan kembali dalilnya sebagai berikut:

1. Dalam Qs. 35:27-28 dan al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh ciri dari al Ulama, yaitu yang memahami Ilmu Alam Semesta. Selain itu rasa takutnya kepada Allah sebagai faktor utama keulamaan. Ia dapat mencapai derajat demikian dikarenakan pengenalannya kepada Allah melalui ilmu sehingga muncul sifat dan perilaku taqwa.
2. Dalam Qs. 42:13 dan al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh makna bahwa Ulama adalah yang memahami Ilmu Syariat Dinullah.
3. Dari al hadits menyatakan Ulama terbagi dua, yaitu akaabir (ahlul sunnah) dan asshoqir (ahlul bid’ah).
4. Dalam Qs.62: 2, Ulama dibangkitkan Allah ditengah-tengah qoum yang ummi (buta alqur-an; masyarakat biasa/kecil), bukan orang yang sengaja hijrah ke kota besar untuk sekadar menyibukkan berceramah memenuhi panggilan tanpa bisa memprogram ummat.
5. Dalam Qs.9: 128, al Ulama memiliki kepekaan, kepedulian terhadap penderitaan ummat serta mampu memberikan solusi yang tepat atas dasar sunnah.
6. Dalam Qs. 24 : 37, al ulama adalah lelaki yang mengutakan zikrullah (mendakwahkan Islam) diatas urusan bisnis dan pekerjaan pribadi demi mendapatkan keridhoanNya.

7. Dalam Qs. 2 : 207-208, al ulama bercirikan pribadi-pribadi tangguh yang telah melakukan transaksi kepada Allah atas dirinya secara lahir-bathin serta hartanya. Kemudian berupaya untuk mengamalkan Dinul Islam secara kaffah dengan mengajak para ulama sedunia membangun kesepakatan dan kerjasama menuju hal itu. Ia bukanlah orang yang menjual Islam untuk kepentingan pribadi berupa materi, pujian, dan kedudukan.


Seorang ‘ilmuwan’ dapat masuk dalam golongan al ulama selama memilki aqidah tauhid yang lurus dan beramal sholeh dengan ilmu yang dibukakan Allah untuknya. Bahkan diantara para Nabi dan Rosulullah selain menyeru ummatnya kepada tauhid, merekapun dibekali Allah dengan ilmu 'alam dan teknologi. Beberapa contohnya dari golongan Nabi dan Rosul antara lain pada Nabi Sholih, as., seorang ahli arsitektur bangunan yang kemudian diangkat Allah sebagai rosulNya untuk qoum Tsamud. Lalu Rosulullah Sulaiman, as., dengan istana megahnya dengan taman kaca, serta Nabi Dzulkarnain dengan tembok raksasanya. Kemudian dari kalangan sahabat Rosulullah Muhammad, SAW., kita mengenal Umar bin Khottob seorang ahli ilmu falaq yang mempelopori pembuatan almanak Qomariyah (Hijriyah). Ada pula dari kalangan ulama tempo dulu seperti Ibnu Sina, seorang ‘alim yang juga ahli dalam kedokteran dan sebagainya.

Adapun manusia yang hanya faham dan ahli mengenai ilmu eksakta (alam) tapi jahil mengenai al Quran, maka bukanlah termasuk al ulama. Bisa jadi ia hanyalah ilmuwan, cendikia atau intelektual dari golongan orang-orang kafir atau penganut sekularisme (munafiq), dan dari golongan moderat (muqtasidah) yang selalu mengambil jalan yang aman. Para penganut faham moderat ini, umumnya orang yang memiliki kedudukan di tengah masyarakat umum (kafir dan mukmin) sehingga takut menanggung resiko ujian dan hilang kedudukan apabila menyatakan dirinya muslim yang kaffah. Sebaliknya seorang ulama bisa jadi ia memahami ilmu ‘alam, eksakta (ilmuwan) sekaligus faham ilmu syariat dinullah, atau salah satunya saja, namun beraqidah lurus dan beramal sholih.

Maka, titik temu antara Ilmuwan dengan al Ulama berpangkal pada masalah aqidah yang benar sebagai syarat pokok keulamaan. Ulama dan Ilmuwan bisa jadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan ulama jelas bukan orang bodoh yang tidak faham urusan duniawiyah. Ilmu yang mereka miliki hanyalah sebagai jalan untuk mengenal Allah dan mendapat ridhoNya, bukan ilmu pengetahuan sebagai tujuan akhir hidupnya. Kemudian dengan ilmunya ia mengajak manusia bertauhid kepada Allah subhanahuwata'ala bukan dengan ilmunya menyesatkan dirinya dan ummat, naudzubillah min dzalik. Wallahu’alam.







DAFTAR FUSTAKA
 Kartanegara, Mulyadi, Pengantar Epistomologi Islam, Bandung, mizan , 2003.
 Qomaruddin, romly, “ Ulama dan Keulamaan di Indonesia”, shrot paper yang disampaikan dalam perkuliahan sejarah pendidikan islam di Indonesia di Universitas ibnu kaldum (UIKA), Bogor
 REPUBLIKA, Kamis, 23 September 2010.
 Suriasumantri, Jujun S, FILSAFAT ILMU, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2007
 Agustian, Ary Ginanjar, ESQ , Jakarta, ARGA fublising, 2007
 Agustian, Ary Ginanjar, ESQ POWER, Jakarta, ARGA Fublising, 2007.
 http/wikipedia/com
 Al-qahthoniy, sa’id bin Ali bin wahf, syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyah, terjemahan ke bahasa indonesia oleh Hawin murtadho, Solo, At-Tibyan, 2000
 At-thohawi, Abu ja’far, Al-Aqidah At-Thohawiyyah, terjemahan ke bahasa indonesia oleh Abu Muhammad, Solo, At-Tibyan, 2000

MEMBONGKAR FILSAFAT ONTOLOGI

MUQODDIMAH
Ontologi merupakan salasatu diantara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran barat sudah menunjukan munculnya perenungan di bidang ontologi. Yang tertua diantara segenap filsuf barat yang kita kenal ialah orang yunani yang bernama Thales. Atas perenungannya terhadap air yang terdapat dimana-mana, ia sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan subtansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Yang terpenting bagi kita sesungguhnya bukanlah ajarannya yang mengatakan bahwa air adalah sumber dari segala sesuatu, tapi yang penting bagi kita adalah bagaimana paradima dalam memahami suatu hal, dan mencoba membongkar haqiqat dari segala yang ada dan mungkin ada, bahwa segala sesuatu mungkin bisa bermula dari satu entitas atau satu subtansi belaka.
Thales merupakan orang pertama yang “keukeuh petekeuh” dalam pendiriannya yang sangat kontras sekali dengan pemikiran-pemikiran orang disekelilingnya, sebuah pendirian yang sangat sangat menyendiri dari sebuah kebiasaan, disinila keunikan tokoh tersebut, diwaktu itu segala sesuatu dipandang sebagaimana adanya yang wajar. Apabila orang yang disekitarnya menjumpai kayu, besi, batu, air, daging, dan sebagainya, hal-hal tersbut dipandang sebagai suntansi-subtansi yang berdiri sendiri. Mereka pada saat itu tidak membedakan antara penampakan (appearance) dengan kenyataan (reality).
Ontologi yang melukiskan tentang haqiqat yang ada atau haqiqat kebenaran itu sendiri, yang dimana setiap pemikir atau kita katakan filosof pasti berbeda dalam menistimbat sebuah kesimpulan dari hasil pemikiran yang dalam untuk mendombrak misteri yang sangat subtantif dari segala yang ada dan mungkin ada, maka disini akan lahir sebuah embrio-embrio pemikiran hasil dari pendalaman objek ontologi, yang akan dibahas di pembahasan yang dalam di pembahasan selanjutnya.
Ontologi dalam khazanah pemikiran islam disebut dengan al-maujud (sesuatu yang ada), yang tidak ketinggalan pada tulisan ini adalah akan ditampilkan para pilosof muslim yang mengeluarkan “curahan hati” mereka tentang sesuatu yang maujud, mumkin al-maujud dan wajib al-maujud, kita akan menemukan dan menjelaskan istilah-istilah tadi di halaman selanjutnya dalam curahan hati para pilosof muslim tentang penyingkapan mereka tentang ontologi atau al-maujud.
Selayang pandang tentang term ontologi
Ontologi merupakan salasatu cabang yang bermuara pada filsafat ilmu, selain pembahasan epistomologi ilmu, dan aksiologi. Obyek telaah ontologi adalah yang ada, studi tentang yang ada, pada dataran study filsafat pada umumnya dilakukan oleh metafisika, istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat Ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang suatu yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus : menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.

Obyek formal ontologi adalah haqiqat seluruh realitas . bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah, telaah akan menjadi telaah monisme, paralelisme, atau prulalisme. Bagi pendekatan kualitatif , realitas akan tampil menjadi aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Reperensi tentang kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. (filsafat ilmu, Prof.Dr.H. noeng muhadjir, 2001, jakarta, RAKESARASIN).

PENGERTIAN ONTOLOGI

Membongkar misteri di balik term “ontologi” kita awali dengan pendekatan kebahasaan dulu (language approach): ontologi dalam bahasa inggris : ontology, dari bahasa yunani berarti : on, ontos (ada, keberadaan)logos (studi, ilmu tentang). (kamus filsafat, lorens bagus).


Beberapa pengertian-pengertian lain yang penulis dapatkan dari kamus filsafat ilmu karangan lorens bagus, adalah diantanya sebagai berikut ;

 Studi tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari yang ada dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan sepeti: Apa itu ada dalam dirinya sendiri??, apa haqiqat ada sebagai ada??.

 Cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan katagori-katagori seperti ; ada/menjadi, aktualitas/potensialitas, nyata/tampak, perubahan, waktu, eksistensi/noneksistensi, esensi, keniscayaan, yang ada sebagai yang ada, ketergantungan pada diri sendiri, hal mencukupi diri sendiri, hal-hal yang terakhir, dasar.

 Cabang filsafat yang mencoba a) melukiskan haqiqat ada yang terakhir (yang satu, yang absolut, bentuk abadi sempurna), b) menunjukan bahwa segala hal tergantung padanya bagi eksistensinya, c) menghubungkan fikiran dan tindakan manusia yang bersipat individual dan hidup dalam sejarah dengan realitas tertentu.

 Cabang filsafat a) yang melontarkan pertanyaan “apa arti ada, berada??”(mempertanyaan yang sama dilontarkan tentang katagori-katagori atau konsep-konsep lain yang digunakan dalam dan b) yang menganalisa bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal dapat dikatakan “ada, berada”

 Cabang filsafat yang a) menyelidiki setatus realitas suatu hal (misalnya, “apakah objek pencerahan atau persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)??.”Apakah bilangan itu nyata??” “apakah pikiran itu nyata??, b) menyelidiki jenis realitas yang dimiliki hal-hal (misalnya, apa jenis realitas yang dimiliki bilangan?? Persepsi ?? pikiran??), dan c) yang menyelidiki realitas yang menentukan apa yang kita sebut realitas dan /atau ilusi (misalnya, “apakah realitas atau ciri ilusif suatu pikiran atau objek tergantung pada pikiran kita, atau pada suatu sumber eksternal yang independen??”)

Renungan Beberapa Filsuf Dalam Menyingkap Tabir Misteri Di Balik “Ontologi”
Istilah ontologi berarti “pengetahuan tentang yang ada”, dalam mengacu kepada suatu bagian filsafat yang materi pokoknya adalah pengetahuan yang semacam ini. Term ontologi muncul sejak jaman yunani tapi istilah ini sangat populer atau menjadi issu yang hangat pada abad ke 17, ketika direonasikankan oleh Goclenius tahun 1636, digunakan oleh Clauberg tahun 1647, Micraelius tahun 1653, dan Du Hamel tahun 1663. Diterima oleh Leibniz, Wolff, dan Baumgarten istialh ini telah menjadi baku pada akhir abad tersebut. Selain asal-usulnya , tak pernah ada pesetujuan yang luas tentang pemakaiannya. Hubungan antara metafisika dan ontologi tetap tidak jelas, dan sering orang menyamakannya.
a) Clauberg menyebut ontologi “ilmu pertama”, studi tentang yang ada sejauh ada. Studi ini dianggap berlaku untuk semua entitas, termasuk Allah dan semua ciptaannya, dan mendasari baik teologi maupun fisika. Studi ini mencakup prinsip-prinsip dan atribut-atribut yang ada, maupun analisis sebab, tatanan, relasi, kebenaran, dan kesempurnaan. Dia juga menyebut disiplin ini ontoshopia , yang mempunyai arti yang sama dengan ontologi, dan kemudian lebih senang dengan istilah ini . kadang ontologi dan ontoshopia digunakan secara bergantian.
b) Wolff mendifinisikan ontologi sebagai ilmu tentang yang ada pada umumnya, dan menggunakan “filsafat pertama” sebagai sinonimnya. Metode deduktif, dan tujuannya ialah terciptanya suatu sisitem kebenaran yang niscaya dan pasti. Prinsip nonkontradiktif dan prinsip tiada jalan tengah merupakan alatnya.

c) Baumgarten mendefinisikan ontologi sebagai studi tentang “predikat-predikat yang paling umum atau abstrak” dari semua hal pada umumnya. Ia menggunakan istilah “ontosopia”, “metafisika universal”, dan “filsafat pertama” sebagai sinonim ontologi.

d) Istilah ini masuk dengan mulus kedalam pemikiran skolastik, dimana ia diidentikan dengan “metafisika umum”, studi mengenai sifat-sifat dari yang ada sejauh ada (termasuk transidental), dan berbeda dengan “metafisika khusus” yang berurusan dengan aspek-aspek dari yang ada yang berada dalam jangkauan pengalaman biasa.

e) Herbart mengkontraskan metodologi dengan ontologi. Yang pertama bertugas mereduksi kontradiksi-kontradiksi di dalam data. Yang terakhir merupakan metode pemahaman realitas sejati (non kontardikter).

f) Rosmini serbati mengkontraskan ontologi dengan teologi dan kosmologi. Ontologi adalah doktrin universal tentang yang ada. Teologi adalah doktrin tentang yang ada absolut. Kosmologi adalah doktrin tentang yang ada relatif dan terbatas.
g) Bagi Geoberti ontologi adalah disiplin filsafat dasariah.

h) Husserl membedakan ontologi formal dari ontologi material, dua-duanya berurusan dengan analisa-analisa esensi. Ontologi formal, yang bergumul dengan esensi formal atau universal, merupaka basis terakhir dan terdalam dari semua ilmu. Ontologi material yang menggeluti esensi-esensi material atau regional, merupakan basis dari semua ilmu faktual. Ontologi-ontologi material bersifat regional, dan ontologi-ontologi regional berbasis ontologi formal
Term Ontologi Dalam Perjalanan di Panggung Sejarah

Pembahasan mengenai ontologi sudah muncul sejak jaman yunani, tapi menurut penelitian term ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke 17, mungkin pada abad 17 term ontologi lagi rame-ramenya atau dalam istilah saya “hot issue” pada mas itu, dan pada waktu itu ungkapan filsafat mengenai yang ada (philosopia entis) digunakan untuk hal yang sama. Menurut akar kata yunani, ontologi berarti : teori mengenai yang ada yang berada.
Karena itu, orang bisa menyamakan ontologi dengan filsafat pertama Aristoteles, yang kemudian disebut metafisika (murni atau umum). Namun, pada kenyataanya, ontologi hanya merupkan bagian pertama metafisika. Yakni, teori mengenai yang ada, yang berada secara terbatas sebagaimana adanya dan apa yang secara hakiki dan secara langsung termasuk ada tersebut. Sebagaimana diketahui aristoteles dan Thomas pada jaman dulu, studi mengenai eksistensi dan studi mengenal Allah hanya merupakan problem tentang eksisitensi yang dikembangkan secara lebih maju. Dan problem yang disebutkan diakhir ini tidak lain daripada problem tentang Allah yang lebih maju. Namun, karena eksistensi dan Allah memisahkan diri satu dari yang lainya sebagai dua kutub, mungkinlah untuk terutama berkonsentrasi pada eksistensi, dan karena itu kita tiba pada ilmu tentang ontologi.
Karena ontologi menjadi suatu cabang khusus pengetahuan teristimewa melalui karya christian wolff hubungan antara eksistensi dan Allah dalam pemikiran modern menjadi sangat berbelit-belit. Kant membuang sekaligus pengetahuan tentang Allah dan pengetahuan tentang eksisitensi, karena dalam pandangannya eksistensi tidak dapat diketahui. Dia melihat dalam kesadaran manusia kenyataan terakhir. Segala sesuatu yang lainnya harus diketahui dan ditelusuri kembali pada kenyataan terakhir. Bertentangan dengan Kant, dalam abad ke 20 telah tumbuh suatu ontologi baru yang berasal dari neo-kantianisme dan filsafat eksistensial sebuah ontologi yang sekali lagi mengambil eksistensi sebagai yang terakhir.,
Nicolai hartman menutup pintu ontologisnya bagi gagasan tentang Allah dan eksistensi yang dianggap heidegger sebagai dasar eksisten terbatas yang seluruhnya tetap tidak dapat dijelaskan. Apa yang dituntut dari ontologi pada masa ini adalah : menjelaskan dan menilai pemikiran awal ini ; mengatasi semua hambatan rasionalistis dan rintangan Kant dan memahami tradisi metafisik.

Pada taraf yang lebih dalam, term ontologi menunjukan hubungan antara eksistensi dan roh. Karena roh tampak sebagai tempat dari eksistensi sebagaimana adanya atau didalam eksistensinya, eksisten mewujudkan dirinya. Karena itu roh muncul sebagai jenis eksistensi primordial di mana eksistensi sungguh-sungguh merupakan dirinya sendiri, dan hadir bagi dirinya sendiri. Karena itu, semakin suatu eksisten mendekati roh atau merupakan roh, semakin tinggi pula tingkatan /skala eksistensi itu. Dalam tahun-tahun belakangan ini terdapat kecendrungan untuk semakin lama semakin memisahkan eksistensi dari roh dan tidak adanya roh telah dianjurkan sebagai ukuran tingkatan eksistensi (sartre). (Lorens bagus, Kamus filasafat).
Ontologi Dalam Perpectif Pilosof Muslim
1) Al-Farabi curhat maasalah ontologi.
Al-Farabi seorang aktivis tasauf dan filsaafat yang melahirkan banyak karya dalam bidang pemikiran dari mulai hal yang berkaitan dengan teologis ataupun masalalah politik, salasatu karya yang monumental nyaadalah : Ara’ ahli Madinah al-fadilah.
Masalah ontologi yang tidak luput dari bahan pemikiran Al-Farbi karena merubakan cabang dari filasafat yang sangat urgen karena membahas sesuatu yang ada dan menyingkap hakikat dibalik yang ada, beliau mengeluarkan curahan hatinya (dibaca; curhat) hasil dari perenungan yang dalam (a deep contemplation) tentang hakikat segala sesuatu yang nampak di alam semesta ini??, apakah sumber utama dibalik semua itu?? Apa yang kita lihat realitaskah atau hanya sebuah “penampakan” dari realitas??,
Dengan falsafah Al-Farabi yang dikenal dengan konsep emanasi (pancaran), dalam teori tesebut dijelaskan bagaimana sesuatu yang banyak di alam ini ada dan bisa ada dari sesuatu yang satu. Tuhan bersipat satu, tuhan bersipat maha satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, maha sempurna dan tidak berhajat kepada apapun, jikalau demikian hakikat sifat tuhan, bagaimana dengan terjadinya alam materi ini yang sangat banyak dari sang mahasatu?? .(falsafah dan mistisme dalam ilam)
Teori emansi merupakan hasil dari sebuah renungan tentang tentang hakikat dari semua yang ada, semua bersumber dari hakikat yang satu, penggerak yang utama (prima klausa) dari segala sesuatu, tuhan sebagai akal, berfikir tentang dirinya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lagi, tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut akal pertama (firt intelligence) yang tidak bersipat materi . wujud kedua ini berfikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran ini timbul wujud ketiga di sebut akal kedua (second intelligence).
Wujud kedua atau akal pertama itu juga berfikir tentang dirinya dan dari situ timbulah langit pertama (first heaven), dan begitu seterusnya sampai menghasilkan akal ke sepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal .tetapi dari akal ke sepuluh munculah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur, api, udara, air dan tanah.
Sunguh rumit bukan teori ini ??, bukan pembaca makalah ini saja yang bingung tapi harun nasution juga bingung tentang apa yang beliau tulis, saking tingginya pemikiran Al-farabi , terbukti dengan catatan terakhir dari tulisannya “tidak jelas apa yang dimaksud Al-Farabi”. ini menunjukan bahwa ilmu filsafat adalah ilmu untuk para intektual bukan bahan sajian untuk orang-orang awam.

2) Ibnu sina curhat juga masalah ontologi (al-wujud).
Bagi ibnu sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun esesensinya sendiri, essensi dalam perfektip ibnu sina, terdapat dalam akal, sedangkan wujud terdapat diluar akal, wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak begitu pundamental artinya, oleh sebab itu wujud lebih penting dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa ibnu sina telah terlebih dahulu melauncing falsafat wujudlah atau existentialism dari filosof-filosof lain.
Kalau kita mengekplorasi agak lebih dalam lagi, kita bisa mengkombinasikan, essensi dan wujud menjadi beberapa teori yang sangat menarik tapi agak memerlukan pemikiran yang dalam untuk memahaminya, penulis akan mencelaskan hasil dari kombinasi tersebut :
a) Essensi yang tidak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh ibnu sina mumtani’ yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being). Sebagai umpamanya, adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
b) Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud . yang serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud (contingent being). Contohnya ialah alam ini yang pada mulanya tidak ada , kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c) Essensi yang tidak boleh tidak mesti mempunyai wujud . disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, essensi dan wujud adalah sama dan satu. Disini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam dalam katagori kedua, tetapi essensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud selama-lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud (necessary being) yaitu tuhan. Wajib al-wujud inilah yang mewujudkan mumkin al-wujud.
Dengan argumen-argumen ini ibnu sina mencoba merentas jalan framework manusia untuk sampai kepada keyakinan kepada tuhan dengan pendekatan rasionalisasi, disamping mendekati dengan jalan rentas yang paling utama yaitu meyakini tuhan dengan keimanan.
Ontologi sebagai sumber embrio-embrio bagi lahirnya aliran-aliran pemikiran.
Setelah memahami cara memperoleh pengetahuan, filosof mulai menembus alam yang lebih dalam tentang objek-objek pengetahuannya untuk mendapatkan suatu kebenaran yang universal. Objek-objek itu dipikirkan dengan pemikiran yang radikal ( radical reason ) sampai mereka bersatu dengan esensi kebenaran itu sendiri, dan mereka memanifestasikan kebenaran yang mereka anggap bener itu dengan sebuah untaian kata-demi kata untuk menyibak tabir misteri dari kebenran itu sendiri, maka kebenaran yang dengan pemikiran yang dalam mereka mendapatkan nya di sebut sebgai sebuah “teori haqiqat” atau ada sebagian pendapat yang menamakannya sebagai “ontologi”.
Bidang pembicaraan teori haqiqat sangat luas sekali, segala tentang ada dan mungkin ada , yang mencakup juga pengetahuan dan nilai (yang di carinya ialah haqiqat pengetahuan dan haqiqat nilai). Nama lain dari teori haqiqat ialah teory tentang keadaan (Lngeveld).
Maka dari perenungan yang dalam itu (a deep contemplation) tentang suatu objek-objek pengetahuan atau yang kita namakan konsep ontlogi, maka lahirlah dari sini embrio-embrio yang akan tumbuh kembang menjadi sebuah idiologi-idiologi dalam hidup dan kehidupan yang akan akan berkonsukuensi terhadap arah tujuan hidup (the living perpose).
Maka dikenalah beberapa teori atau idioligi di dalam panggung kehidupan sebagai manifestasi dari pengekplorasian terhadap objek ontologi, diantanya :
a) Kosmologi membicarakan haqiqat yang ada, haqiqat susunan, haqiqat berada, haqiqat tujuan kosmos.
b) Antropologi membicarakan tentang haqiqat manusia.
c) fheodicea membahas tentang haqiqat tuhan.
d) Theodicea mebahas tentang filsafat agama.
e) Filsafat hukum
f) filsafat pendidikan.

Mula-mula kita membicaran suatu realitas benda-benda. Apakah sesuai dengan penampakanya (appearance) atau sesuatu yang bersembunyi dibalik penampakan itu ? menjawab pertanyaan ini maka timbulah aliran-aliran pemikiran diantarany :
a) materialisme (sering juga disebut naturalisme), menurut idiologi ini haqiqat benda adalah materi, benda itu sendiri. Rohani, jiwa, spirit dan sebagainya muncul dari dari materi benda. Rohani dan cs nya tidak akan ada kalaulah benda tidak ada, jadi tuhan, roh, jiwa itu bukanlah haqiqat.
b) Naturalisme mempunyai pendapat bahwa roh, jiwa itu tidak ada, tidak diakui keberadaanya termasuk tuhan.
c) Idealisme mempunyai pendapat haqiqat benda adalah rohani, spirit, atau sebangsanya. Alasan mereka ialah sebagi berikitut : nilai roh lebih tinggi dari pada badan, manusia lebih dapat memahami dirinya daripada sesuatu yang diluar dirinya, dan materi adalah sebuah kumpulan-kumpulan energi yang menempati ruang, benda tidak ada yang ada energi itu saja.
d) Dualisme mempunyai pendapat bahwa yang merupakan haqiqat di dalam benda itu ada dua, materi dan imateri, benda dan roh. Jasad dan spirit, materi bukan muncul dari roh, dan roh bukan muncul dari materi, kedua-duanya sama-sama haqiqat.
e) Agnostisisme sebuah idiologi yang berpendapat bahwa manusia tidak dapat mengetahui haqiqat yang ada.
Sangat banyak dan kompleks sekali aliran-aliran yang dilahirkan para pemikir menjadi sebuah embrio-embrio sebuah gerakan pemikiran dalam dunia filsafat ini. Di bawah ini penulis mencoba mengkristalisasikan beberapa di antara sekian banyak aliran dalam filsafat itu, yang tidak lain semuanya bermuara pada haqiqat ontologi.untuk memudahkan pemahaman kawan-kawan sekalian penulis mencoba memetakan aliran-aliran tersebut dalam sebuah konsep teorI yang penulis namakan dengan “CARTOGRAPHI OF PHILOSOPHI WOURLD” (sebuah pemetaan dari dunia filsafat).

“CARTOGRAPHI OF PHILOSOPHI WOURLD”
























Hak Cipta Di Lindungi Oleh Undang-Undang Allah Swt.
DAFTAR KEPUSTAKAAN



 Bagus, Loren, 2000, KAMUS FILSAFAT, Gramedia Pustaka Utama.Jakarta
 Anshari, Endang saefuddin, 1987, Ilmu, Filsafat Dan Agama, Pt Bina Ilmu Offset. Surabaya.
 Muhadjir, noeng. 2001, Filsafat Ilmu, RAKESARASIN, Yogyakarta.
 Hasan, Syed Zahfarul . 2004. Metafisika Iqbal. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
 Tafsir, Ahmad. 2003. Filsafat Umum. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.
 Russsell, Betrand. 2004. Sejarah filsafat barat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
 Nasution, Harun. 1995. Falsafah dan mstisme dalam islam. Bulan Bintang. Jakarta.
 Nasution, harun. 1989. Falsafah Agama. Bulan Bintang. Jakarta.
 Kattsoff, louis. 1995. Pengantar Filsafat. terjemahan dari Element of philosophi oleh Drs. Soejono soemargono. Tiara wacana yogya. Yogyakarta.
 Yazdi, Muhammad Taqi Mishbah. 2003. Buku Dasar Filsafat Islam. Terjemahan kedalam bahasa indonesia oleh Musa kazhim dan Saleh bagir. Mizan. Bandung.
 Suriasumantri, jujun s.2007, Filsafat Ilmu. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
 Husen, M. Ali. 1985. Teori kadar dan teori cahaya. Bulan Bintang. Jakarta.
 Kartanegara, Mulyadi. 2003. Pengantar Epistomologi Islam. Mizan. Bandung.
 HMI, 2002. NILAI DASAR PERJUANGAN. Tanpa penerbit.
 Misbahudin, “ULAMA DAN ILMUAN” short paper yang disampaikan pada perkulihan hadist tarbawy, STAI PUBLISTIK THAWALIB.Jakarta.