Minggu, 01 Mei 2011

ULAMA DAN ILMUAN

Mukodimmah

Ulama yang merupakan bentuk jama’ dari kata alim merupakan orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum Allah (ahkam Allah). Hukum Allah tidak terbatas pada hukum-hukum agama, tetapi mencakup hukum-hukum alam atau yang dalam bahasa al-Qur’an disebut dengan sunnatullah. Nabi Saw mendapat pengetahuan ilahi yang mencakup seluruh aspek kehidupan, dan tidak terbatas pada pengetahuan hukum agama. Kenabian baginda Muhammad Saw menjadi logos ketuhanan yang menyinari seluruh jagat raya dan isinya. Logos ketuhanan itu bersifat menyeluruh bagi semua kehidupan. Oleh karena itu, tidak tepat jika pengertian ulama hanya dikhususkan untuk pengetahuan agama, semantara pemilik pengetahuan non agama tidak disebut dengan ulama.

Generasi awal Islam tidak mengenal pembedaan antara pemilik pengetahuan agama dan pemlik pengetahuan non agama. Pengertian ulama mengacu pada mereka yang memiliki pengetahuan, apapun bidang dan jenis pengetahuan yang dimiliki. Kenyataan yang dapat ditemukan dalam literatur-literatur Islam klasik adalah orang yang ahli filsafat disebut dengan al-failasuf, orang yang pintar dalam bidang logika disebut dengan ahl al-manthiq, orang yang ahli mengobati disebut dengan al-thabib, orang yang menonjol di bidang agama disebut dengan rijal al-din dan seterusnya. Semuanya masuk dalam kategori ulama. Mereka disebut ulama karena dipercaya menguasai dan memiliki pengetahuan, dan dengan pengetahuannya mereka mengajarkan dan membimbing umat manusia ke jalan yang benar. Mereka inilah pewaris para nabi dalam mentransmisikan pengetahuan kepada umat manusia.

Kenyataan yang terjadi di tengah kehidupan kita adalah justru ulama mendapat pengertian sebagai orang yang memiliki pengetahuan agama atau hukum agama. Orang yang memiliki pengetahuan di luar bidang agama disebut dengan ilmuwan. Munculnya dikotomi antara ulama dan ilmuwan seperti yang sedang terjadi merupakan representasi nyata dari perseteruhan antara agama dan filsafat yang sudah berlangsung sejak lama dalam sejarah pengetahuan Islam. Maka tidak heran, pengertian ulama mengalami penyempitan, hanya terkait dengan mereka yang mempunyai pengetahuan agama atrau hukum agama. Sementara sebutan ilmuwan yang merupakan terjemahan serapan dari istilah ulama lebih diidentikkan dengan mereka yang mempunyai dan menguasai pengetahuan non agama.

Apabila ulama menjadi pewaris para nabi karena kepemilikan pengetahuannya, maka demikian juga para ilmuwan dapat menjadi pewaris para nabi. Seorang ulama dan ilmuwan sejati adalah mereka yang memiliki pengetahuan hukum Allah, yang dengan pengetahuannya ia harus menjadi panutan, kepercayaan dan pengganti (khalifah) para nabi atas umatnya. Seharusnya, mereka menjadi pewaris para nabi dalam hal kondisi (ahwal), perbuatan, perkataan dan pengetahuan. Oleh karena itu, derajat dan maqam mereka tinggi. Kemuliaan derajat mereka, dikiaskan oleh nabi Saw dengan sabdanya: “Keutamaan orang yang berilmu itu bagaikan bulan dan bintang.”

Untuk mencari kejelasannya diantara kedua term tersebut, penulis mencoba menyingkap “tabir misteri” tersebut, berikut ini saya mengulas permasalahannya. Mudah-mudahan dapat membantu kita menyibak makna yang sebenarnya dengan mengunakan pendekatan interdisipliner (melihat dari segala aspek). Kita mencoba dengan menggali akar katanya, lalu menelusuri darimana munculnya.
Definsi Ilmuwan

Definisi Ilmuwan ialah orang yang bekerja dan mendalami dengan tekun dan sungguh-sungguh dalam bidang ilmu pengetahuan. Para ilmuwan bisa bekerja dalam bidang ilmu pengetahuan yang berbeda. Di sini diberikan beberapa contoh: Mereka yang belajar fisika ialah fisikawan. Yang belajar kimia ialah kimiawan. Yang belajar biologi ialah biolog. (sumber: id.wiktionary.org).

Dari definsi di atas jelas bahwa arahnya hanya kepada para ahli ilmu alam (eksakta) yang merupakan ayat kauniyah Allah. Akar kata ilmuwan dari dua suku kata Ilmu (serapan dari bahasa Arab) yang sudah mengindonesia, lalu ditambah dengan akhiran –wan yang menunjukkan penegasan sifat awalannya. Sebagai contoh pembanding, yaitu kata dermawan yang artinya orang yang suka berderma, membantu dengan harta atau bersifat sosial. Lantas, siapakah yang mempopulerkannya dan kapan munculnya istilah ilmuwan, wallahu’alam- secara jelas belum kami temui penjelasannya. Namun yang jelas kosa kata ini sudah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia.

Definisi Ulama

Secara bahasa, ulama berasal dari kata kerja dasar ‘alima (telah mengetahui); berubah menjadi kata benda pelaku ‘alimun (orang yang mengetahui - mufrad/singular) dan ulama (jamak taksir/irregular plural). Berdasarkan istilah, pengertian ulama dapat dirujuk pada al-Quran dan hadis. Yang sangat masyhur dalam hal ini adalah : انما يخشى الله من عباده العلماء (sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hambaNya adalah ulama- Qs.Fathir 28).

Nash yang jelas tentang lafadz al Ulama dalam al Quran di atas adalah berbentuk ism makrifat (khusus-dapat dikenali secara jelas) bukan berbentuk umum (ism nakirah), yaitu ulama. Artinya al Ulama adalah hamba Allah yang takut melanggar perintah Allah dan takut melalaikan perintahNya dikarenakan dengan ilmunya ia sangat mengenal keagungan Allah. Ia bertahuid (mengesakan) Allah dalam rububiyah, uluhiyah dan asma wa sifat. Mereka sangat berhati-hati dalam ucapan dan tindakan karena memiliki sifat wara, khowasy dan ’arif. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim bersumber dari Anas yang membayankan atau menjelaskan terhadap al Qur-an Surah Fathir ayat 28 di atas dinyatakan bahwa :
العلماء اُمناء الله على خلقهِ
("al ‘Ulama adalah pemegang amanah Allah atas makhluqnya”).

Jelas bahwa kata al Ulama bukan sekedar istilah dan kedudukan sosial buatan manusia. Bukan pula orang yang didudukan di lembaga bentukan pemerintahan sekular dengan subsidi dana. Namun kosa kata al Ulama berasal dari Kalamullah dan memiliki arti dan kedudukan sangat terhormat disisi Rabb. Hanya Allah yang mengetahui hakikat sebenarnya siapa dari hambaNya yang termasuk kategori al Ulama. Maka tidak berhak seseorang memproklamirkan dirinya sebagai al Ulama.

Secara tersirat kata rusul (ism nakirah) dapat berarti Rosulullah dan bisa pula al Ulama. Sedangkan arrusul (ism makrifat) artinya khusus ditujukan kepada Rosulullah. Berarti al Ulama memiliki tanggung jawab besar berupa amanah risalah yang telah dibawa para rasul untuk dijaga kemurniaannya, didakwahkan dan diamalkan.


Kemudian ada juga satu lagi hadits dari sumber Anas, riwayat Muslim yang menyatakan :
العلماءُ امناء الرّسل مالن يٌخلط السلطانَ ودخل الدنياَ اذا خلط السلطان ودخل الدنيا فقد خان الرسل فاهذروه
(Al ‘Ulama pemegang amanah para rosul, selama ia tidak menggauli penguasa / ambisi kekuasaan, dan tidak cinta berat terhadap dunia / materialis, jika ia menjilat penguasa / ambisi kekuasaan, dan cinta berat terhadap dunia / materialis maka sungguh ia telah menghianati para rosul, maka berhati-hatilah kepadanya”).

Hadits ini menjelaskan al Qur-an Surah Assyura ayat 13 :

شرع لكم من الدين ما وصى به نوحآ والذي اوحينا اِليك وما وصّينا به ابراهيم وموسى وعيسى انْ اقيموا الدّين ولا تتفرّقوا فيه كبر على المشركين ما تدعوهم اليهِ الله يجتبى اليه من يشاء ويهدى من ينيب ـ


“Disyariatkan atas kamu ad Din, (yaitu) apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Nuh, dan apa-apa yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), dan apa-apa yang Kami wasiatkan dengannya kepada Ibrahim dan Musa dan Isa, bahwa tegakkanlah ad Din dan janganlah berpecah-belah didalamnya. Berat rasanya bagi orang-orang musyrik seruan kamu atas mereka, Allah menetapkan dengan seruan itu siapa yang dikehendakiNya, dan menunjuki dengannya orang-orang yang kembali (bertaubat)”.

Sedangkan hadits yang berbunyi :
العلماءُ ورثُ الانبياءَ

(al 'ulama adalah pewaris para nabi).

Kedudukan matan atau isi hadits ini lemah (dhoif) sehingga tidak boleh dijadikan hujjah, karena masalah kenabian tidaklah diwariskan. Menurut Rosulullah, ulama itu ada yang asshoghir dan akaabir. Tercermin dalam hadits beliau : “ma yadzalun nafsu bi khoiri ma ahadul ilma ‘inda akaabir (senantiasalah ummat ini dalam kebaikan sepajang mereka mengambil ilmu dari akaabir).

Untuk memahami makna Ulama akaabir dan ulama ashoqir dengan memahami suatu kaidah ushul. Sesuatu hal itu lebih dikenal jika diketahui lawannya. Contoh kita tidak tahu persis arti kata ‘adil jika tidak tahu arti dholim. Juga arti makruf dari lawannya munkar. Secara etimologis akaabir artinya orang besar (penggede) dan ashoqhir artinya (orang kecil). Namun secara ilmu tafsir bermakna lain. Diambil dari sebuah hadits, nabi SAW:

“Min assyirothi sa-ah ayyu tsamatsalil ilmu ‘inda asshoghir” (antara lain sebagai prolog /muqadimah datangnya hari qiyamat diambang pintu, yaitu orang mengambil ilmu dari ashoghir). Mufasir berpendapat ashoqir hum ahlul bid’ah (asshoqir adalah ahli bid’ah). Mereka ulama tapi bergelimang dengan bid’ah (mengada-ada dalam perkara Din).

Ciri lain seorang al ulama adalah memiliki kepekaan terhadap penderitaan ummat lalu mengupayakan jalan keluarnya (Qs.9:128). Ia umumnya dibangkitkan Allah di tengah-tengah qoum yang ummi (buta huruf, masyarakat biasa/kecil : Qs.62:2)

Froblem Solving Menuju Regenerasi Ulama Yang Ilmuan
Mencetak generasi ulama yang mempuni dalam keilmuan eksakta tidak semudah membalikan telapak kaki, membutuhkan waktu yang panjang dan sisitem pendidikan yang sisitematis (manhaj dirosiyyah) dalam sistem pendidikan, yang sekarang sudah nampak jelas adanya sebuah dikotomi ilmu yang membawa bibit sekulisasi dan liberalisasi , yang konsekuensi dari sisitem tersebut akan menghasilkan manusia-manusia yang akan semakin menjauh dari tuhannya, keilmuanya akan kering dari sebuah regiliusitas kehidupan,
Maka dibutuhkan sebuah islamisasi keilmuan (sains), untuk menciptakan generasi yang yang mempunyai keilmuan yang terbingkai dalam framework ketauhidan.
.Kata “ islamisai sains” sudah pernah nyaring menggema di indonesia pada era 1980-an, tapi redup sejalan dengan ketidak jelasan konsep dan pengembangannya,. Bahkan sering timbul kesalaha pahaman. Apa sebenarnya” islamisai sains” itu ?.
Secara umum ,ada lima arus utama wacana islamisai sains, pertama , islamiasasi sains dengan pendekatan instrumentalistik, yaitu pandangan yang menganggap ilmu atau sains hanya sebagai alat ( instrumen ), artinya, sains terutama teknologi sekedar alat untuk mencapai tujuan, tidak memperdulikan sipat dari sains tersebut selama ia bermampaat bagi pemiliknya.
Pendekatan ini muncul dengan asumsi bahwa barat maju dan dapat menguasi dan menghegemoni wilayah islam dengan kekutan sains dan teknologinya. Coz untuk mengimbangi barat, kaum muslim harus mengusai sains dan teknologi. So ... islamisasi disini bagaimana umat islam dapat mengusai kemajuan yang telah dikuasi barat.
Kedua, isalmisai dengan konsep justifikasi , artinya, penemuan ilmu modern, terutama di bibidang ilmu-ilmu alam diberikan justifikasi (pembenaran) melalui ayat al-qur’an dan al-hadist. Metodologinya adalah dengan cara mengukur kebenaran Al-Qur’an dengan fakta-fakta objektip dalam sains modern.Tokoh yang populer mengembangan metode ini adalah Maurice bucaille,Harun yahya, Zaghlul An-Najjar,Afjalur rahman dll.
Ketiga, islamisasi sains dengan pendekatan sakralisasi. Ide ini dikembangkan oleh seyyed hossein nasr. Baginya sains modern yang sekarang ini bersipat sekuler dan jauh dari nilai-nilai spritual sehingga perlu di lakukan sakralisasi. Tapi metode pendekatan (approach metode) nasr ini kalau di selidki lebih dalam maka kita akan melihat bahwa konsep ini (sakralisasi sains) dibangun atas dasar konsep semua agama sama pada level esoterisnya (batin), yang seharusnya islamisasi sains dibangun dan dikembangkan di atas kebenaran islam. Sains sakral menafikan keunikan islam karena menurutnya keunikan adalah milik semua agama, maka metode sakralisasi ini akan tepat sebagai konsep islamisasi sains jika nilai dan unsur kesakralanya didasarkan pada nilai-nilai islam yang haq.

Keempat, islamisasi sains melalui proses integrasi, yaitu, mengintegrasikan sains barat dengan ilmu-ilmu islam. Ide ini dikemukakan oleh imail Al-faruqi.menurutnya, akar dari kemundururan umat islam dibebagai dimensi karena dualisme sistem pendidikan.disatu sisi, sistem pendidikan islammengalami penyempitan makna dalam berbagai dimensi, sedangkan disisi lain, pendidikan sekuler sangat mewarnai pemikiran kaum muslimin.
Al-faruqi menyimpulkan sistem pendidikan harus dibenahi dan dualisme pendidikan harus dihapuskan dan menyatukan nya dalam bingkai ketauhidan yang bersipat integral dari paradigmanya. Al-Faruqi menjelaskan pengertian islamisasi sains sebagai usaha yaitu, “memberikan definisi baru, mengatur data-data mengevaluasi data-data , memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasi kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan melakukan semua itu sehingga disiplin-disiplin itu memperkaya shaqofah (wawasan ) islam, dad bermampaat bagi cita-cita islam”.
Kelima, konsep islamisasi sains yang paling mendasar dan menyentuh akar permasalahan sains adalah islamisasi yang berlandaskan paradigma islam. Ide ini pertama kali di sampaikan oleh syed muhammad naquib Al-attas. Menurutnya tangtangan terbesar yang dihadapi kaum muslimin adalah ilmu pengetahuan modern yang tidak netral telah merasuk kedalam praduga-praduga agama, budaya dan filosofis yang berasal dari repleksi kesadaran dan pengalaman manusia barat. maka islamisasi sains harus dimulai dengan membongkar sumber kerusakan ilmu. Ilmu-ilmu modern harus diperiksa ulang dengan teliti.al-Attas mengartikan islamisasi sains sebagai “pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang bertentangan dengan islam) dan dari belenggu sekuler terhadap pemikiran dan bahasa,juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang cendrung sekuler dan tidak adil tarhadaphaqiqat diri atau jiwannya............islamisasi adalah proses menuju bentuk asalnya ..” .
Kesimpulan

Al Ulama adalah kedudukan mulia dari Allah kepada hamba pilihan yang memahami ayat-ayat Allah berupa Ilmu kauniyah yang dibentangkan Allah di alam semesta dan Ilmu Syariah yang tertulis dalam kitabNya. Maka untuk mendapatkan definisi yang benar harus dikembalikan yang membuat istilah al Ulama (dalam hal ini Allah). Sedangkan Ilmuwan istilah yang muncul di masa mutaakhir, maka harus dikembalikan kepada pembuatnya (manusia). Dengan mencoba memahami sumber asal yang benar, insyaAllah akan menghasilkan keluaran yang benar pula.

Untuk lebih jelasnya coba perhatikan kembali dalilnya sebagai berikut:

1. Dalam Qs. 35:27-28 dan al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh ciri dari al Ulama, yaitu yang memahami Ilmu Alam Semesta. Selain itu rasa takutnya kepada Allah sebagai faktor utama keulamaan. Ia dapat mencapai derajat demikian dikarenakan pengenalannya kepada Allah melalui ilmu sehingga muncul sifat dan perilaku taqwa.
2. Dalam Qs. 42:13 dan al Hadits yang menjelaskannya, diperoleh makna bahwa Ulama adalah yang memahami Ilmu Syariat Dinullah.
3. Dari al hadits menyatakan Ulama terbagi dua, yaitu akaabir (ahlul sunnah) dan asshoqir (ahlul bid’ah).
4. Dalam Qs.62: 2, Ulama dibangkitkan Allah ditengah-tengah qoum yang ummi (buta alqur-an; masyarakat biasa/kecil), bukan orang yang sengaja hijrah ke kota besar untuk sekadar menyibukkan berceramah memenuhi panggilan tanpa bisa memprogram ummat.
5. Dalam Qs.9: 128, al Ulama memiliki kepekaan, kepedulian terhadap penderitaan ummat serta mampu memberikan solusi yang tepat atas dasar sunnah.
6. Dalam Qs. 24 : 37, al ulama adalah lelaki yang mengutakan zikrullah (mendakwahkan Islam) diatas urusan bisnis dan pekerjaan pribadi demi mendapatkan keridhoanNya.

7. Dalam Qs. 2 : 207-208, al ulama bercirikan pribadi-pribadi tangguh yang telah melakukan transaksi kepada Allah atas dirinya secara lahir-bathin serta hartanya. Kemudian berupaya untuk mengamalkan Dinul Islam secara kaffah dengan mengajak para ulama sedunia membangun kesepakatan dan kerjasama menuju hal itu. Ia bukanlah orang yang menjual Islam untuk kepentingan pribadi berupa materi, pujian, dan kedudukan.


Seorang ‘ilmuwan’ dapat masuk dalam golongan al ulama selama memilki aqidah tauhid yang lurus dan beramal sholeh dengan ilmu yang dibukakan Allah untuknya. Bahkan diantara para Nabi dan Rosulullah selain menyeru ummatnya kepada tauhid, merekapun dibekali Allah dengan ilmu 'alam dan teknologi. Beberapa contohnya dari golongan Nabi dan Rosul antara lain pada Nabi Sholih, as., seorang ahli arsitektur bangunan yang kemudian diangkat Allah sebagai rosulNya untuk qoum Tsamud. Lalu Rosulullah Sulaiman, as., dengan istana megahnya dengan taman kaca, serta Nabi Dzulkarnain dengan tembok raksasanya. Kemudian dari kalangan sahabat Rosulullah Muhammad, SAW., kita mengenal Umar bin Khottob seorang ahli ilmu falaq yang mempelopori pembuatan almanak Qomariyah (Hijriyah). Ada pula dari kalangan ulama tempo dulu seperti Ibnu Sina, seorang ‘alim yang juga ahli dalam kedokteran dan sebagainya.

Adapun manusia yang hanya faham dan ahli mengenai ilmu eksakta (alam) tapi jahil mengenai al Quran, maka bukanlah termasuk al ulama. Bisa jadi ia hanyalah ilmuwan, cendikia atau intelektual dari golongan orang-orang kafir atau penganut sekularisme (munafiq), dan dari golongan moderat (muqtasidah) yang selalu mengambil jalan yang aman. Para penganut faham moderat ini, umumnya orang yang memiliki kedudukan di tengah masyarakat umum (kafir dan mukmin) sehingga takut menanggung resiko ujian dan hilang kedudukan apabila menyatakan dirinya muslim yang kaffah. Sebaliknya seorang ulama bisa jadi ia memahami ilmu ‘alam, eksakta (ilmuwan) sekaligus faham ilmu syariat dinullah, atau salah satunya saja, namun beraqidah lurus dan beramal sholih.

Maka, titik temu antara Ilmuwan dengan al Ulama berpangkal pada masalah aqidah yang benar sebagai syarat pokok keulamaan. Ulama dan Ilmuwan bisa jadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan ulama jelas bukan orang bodoh yang tidak faham urusan duniawiyah. Ilmu yang mereka miliki hanyalah sebagai jalan untuk mengenal Allah dan mendapat ridhoNya, bukan ilmu pengetahuan sebagai tujuan akhir hidupnya. Kemudian dengan ilmunya ia mengajak manusia bertauhid kepada Allah subhanahuwata'ala bukan dengan ilmunya menyesatkan dirinya dan ummat, naudzubillah min dzalik. Wallahu’alam.







DAFTAR FUSTAKA
 Kartanegara, Mulyadi, Pengantar Epistomologi Islam, Bandung, mizan , 2003.
 Qomaruddin, romly, “ Ulama dan Keulamaan di Indonesia”, shrot paper yang disampaikan dalam perkuliahan sejarah pendidikan islam di Indonesia di Universitas ibnu kaldum (UIKA), Bogor
 REPUBLIKA, Kamis, 23 September 2010.
 Suriasumantri, Jujun S, FILSAFAT ILMU, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2007
 Agustian, Ary Ginanjar, ESQ , Jakarta, ARGA fublising, 2007
 Agustian, Ary Ginanjar, ESQ POWER, Jakarta, ARGA Fublising, 2007.
 http/wikipedia/com
 Al-qahthoniy, sa’id bin Ali bin wahf, syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyah, terjemahan ke bahasa indonesia oleh Hawin murtadho, Solo, At-Tibyan, 2000
 At-thohawi, Abu ja’far, Al-Aqidah At-Thohawiyyah, terjemahan ke bahasa indonesia oleh Abu Muhammad, Solo, At-Tibyan, 2000

Tidak ada komentar:

Posting Komentar